“Kemenangan pasukan terletak pada pasukan elit, keberaniannya terletak pada komando, kecakapannya terletak pada penyusunan dan semangat,…. dan tindakan yang merugikan orang lain terletak pada pertempurannya yang diulang-ulang”
— Sun Tzu II dalam The Lost Art of War (1996, terjemahan Indonesia) —
Mencapai batas maksimum ketahanan manusia, itulah yang ingin dikejar di depo-depo pendidikan prajurit komando. Prajurit ditempa dengan sangat ganas sampai ia merasakan kesakitan yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Ada pihak menyebutnya tidak manusiawi.
Keterpampilan lempat pisau bukan urusan mudah. Dalam kondisi terdesak, keahlian ini bisa sangat berguna melumpuhkan musuh. |
Demo beladiri wushu Grup 1 saat HUT Kopassus |
Syarat ketat
Ada beberapa tahapan yang mesti dilalui bagi warga negara Republik Indonesia untuk menjadi prajurit Kopassus. Secara umum harus lulus pendidikan pembentukan sesuai tingkatan. Mulai dari Secata (Sekolah Calon Tamtama), Secaba (Sekolah Calon Bintara), Sepa PK (Sekolah Pembentukan Prajurit Karir) dan Akademi Militer. Setelah lobos dari saringan penerimaan, mereka melanjutkan ke tahap pendidikan kecabangan, pendidikan para dasar, latihan komando selama tujuh bulan yang berakhir dengan pembaretan di Nusakambangan. Setelah di satuan akan ditambahkan dengan materi spesialisasi dasar.
Bagi yang melewati pintu masuk dari Sepa PK dan Akademi Militer, pendidikan para dan komando baru dilakukan setelah dilantik sebagai perwira. Pendidikan komando bertujuan untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan prajurit Kopassus sehingga mampu baik secara individu dan kelompok melaksanakan operasi komando.
Dalam proses rekrutmen, Kopassus menerapkan standar di atas rata-rata. Dari postur tubuh saja, minimal 168 sentimeter. Bahkan era Prabowo Subijanto pernah mencapai 170 sentimeter. Penerapan standar tinggi ini tentu dengan maksud untuk mendapatkan sosok prajurit yang tangguh dan berwibawa. Dari semua tahapan pendidikan di atas, materi komando diakui paling berat. Namun justru dari sinilah awalnya pembentukan prajurit individu seperti yang dibutuhkan Kopassus sebagai komando tempur. Kenyataannya walau seberat apapun, toh generasi muda tetap berduyun-duyun mengikuti seleksi penerimaan anggota Kopassus. Ada kebanggaan memang ketika baret merah melekat di kepala.
Membaca jejak musuh. Dengan keahliannya. Parako bisa menduga kapan posisi itu ditinggal musuh. |
Malah karena kebutuhan organisasi dan lapangan yang terns meningkat, tahun 1991 waktu pendidikan menjadi 28 minggu. Para petinggi di Mako Kopassus terus berupaya mengupgrade kemampuan dan keterampilan prajurit. Maka diciptakanlan 28 jenis pendidikan dan kursus untuk mempertajam kemampuan. Mulai dari pendidikan sandi yudha, kursus pelatih komando, kursus pelatih sandi yudha, kursus pelatih para, kursus pelatih free fall, kursus jump master dan kursus pandu udara (path finder).
Hingga pertengahan 1990-an, Kopassus akhirnya mencapai pertumbuhan terbesarnya. Dari tiga grup dikembangkan menjadi lima grup. Kebutuhan personel meningkat dengan cepat. Ujungujungnya yang kelimpungan adalah Pusdik Passus. Untuk mengakalinya, akhirnya gelombang pendidikan yang sebelumnya sekali setahun dijadikan dua kali. Dan untuk memberikan jeda refreshing kepada Pusdik, waktu pendidikan dikurangi menjadi 20 minggu dengan tidak mengurangi materi. Artinya terjadi pemadatan materi. Dalam crash program ini calon prajurit diambilkan dan sejumlah Kodam serta werving internal di setiap grup Setelah kebutuhan terpenuhi, pendidikan komando kembali menjadi 28 minggu setahun sekali.
Paket ini masih dipertahankan hingga hari ini. Pendidikan komando diakhiri di Nusakambangan. Sebelum acara pembaretan, selalu diadakan demo penutup dari siswa komando yang disaksikan para undangan dan keluarga siswa. Kopassus menyebut demo saat matahari terbit ini dengan Seruko (Serangan Regu Komando). Setelah menyelesaikan pendidikan komando dan para dasar serta berhak menyandang brevet komando dan baret merah, saatnya berdinas pun dimulai.
Prajurit-prajurit barn itu disebar di Grup 1 dan 2. Di Grup, pada tahap awal mereka akan melaksanakan orientasi untuk mendapatkan gambaran tugas, nilainilai dan tradisi satuan barunya. Baru setelah itu dibawah pembinaan Grup, mereka menerima beberapa materi latihan. Baik untuk meningkatkan kemampuan, setidaknya memelihara kualifikasi yang sudah diperoleh. Tuntutan selama di Grup adalah setiap prajurit minimal hams mengikuti saw kali tugas operasi. Tuntutan ini adalah syarat mutlak apabila salah sam dari mereka dipromosikan ke Sat 81 atau Grup 3.
Pada masa menunggu sebelum tugas operasi turun, prajurit diberi pendidikan lanjutan. Yaitu pendidikan spesialisasi dan pendidikan khusus di Sekolah Pertempuran Khusus (Sepursus).
Sepursus diselenggarakan di Pusdik Passus, Batujajar. Kemampuan yang akan dikuasai ini sangat menunjang dalam operasi komando. Karena beroperasi dalam tim-tim kecil dengan menerapkan teknik-teknik unconventional warfare, pertempuran yang dilakukan memang tidak keroyokkan. Perebutan, pengepungan, pencidukan, penyekatan atau penculikan tokoh musuh, adalah jenis pertempuran yang tidak sembarangan.
Meluncur dari tower, adalah kemampuan standar yang harus dimiliki. Kekuatan tangan dan bahu, jadi kunci. |
Pendidikan komando
Melelahkan dan meruntuhkan mental. Itulah kesimpulan akhir dan pendidikan komando. Ada yang kuat, setengah kuat dan yang gagal di tengah jalan. Penilaian akhir pendidikan komando dilakukan secara akumulatif dari puluhan materi yang diberikan. Dari penilaian itu akan terlihat kecenderungan, kelebihan dan kekurangan seorang prajurit. Peserta gagal biasanya karena sakit.
Standar selama pendidikan di atas rata-rata. Kalau nilai jasmani di satuan lain minimal 61, Kopassus menerapkan angka 70. Nilai yang sama untuk menembak. Yang berat juga dalam urusan jasmani adalah renang nonstop 2.000 meter dan renang ponco menyeberangi selat dari Cilacap ke Nusakambangan.
Unit PJD dengan kendaraan khusus Land Rover dilengkapi senapan berat CIS 12,7 milimeter |
Setidaknya ada dua materi yang bikin bulu kuduk merinding dalam tahap Perang Hutan. Yaitu Pelolosan dan Kamp Tawanan Sebagian prajurit Kopassus yang ditanya soal dua materi ini hanya bisa tersenyum tipis sambil melirik COMMANDO. “Berat, berat sekali tapi harus dilalui apapun yang akan terjadi,” aku seorang prajurit Grup 1.
Pelolosan diawali dengan dilepasnya siswa satu demi satu di sebuah tempat di Nusakambangan. Dalam hitungan tertentu, is harus tiba di save house di pantai Permisan. “Kalau ditarik garis, itu dari ujung ke ujung pulau hingga berakhir di Permisan,” jelas Kapten Inf Agus Widodo, Perwira Seksi Intel Grup 1. Pelolosan dimulai pukul 7 pagi hingga paling lambat memasuki save house pukul 10 malam.
Setelah dilepas instruktur, siswa yang tidak dibekali apapun itu hams mampu menembus segala rintangan selama di perjalanan. Rintangan baik dari alam atau rekaan para instruktur. Rekaan instruktur bisa berupa tembakan atau dikejar sampai tertangkap. “Kami harus berupaya agar tidak tertangkap, karena tertangkap sama saja gagal melaksanakan tugas,” kata Agus. Apa jadinya kalau tertangkap? Bayangkan saja perang sungguhan ketika seorang tentara musuh tertangkap. Dimasukkan ke dalam tahanan lalu diinterogasi dan disiksa sampai buka mulut. Gebukan, tendangan, hantaman benda keras dan sejumlah siksaan lainnya yang mungkin tidak bisa disebutkan, hams diterima bagi yang tertangkap. Katanya sejumlah tentara asing mengakui bahwa materi ini tidak manusiawi. Menurut Kapten Agus, latihan ini membuat mereka betul-betul sadar ancaman yang bisa saja diterima dalam sebuah pertempuran.
Selesai Pelolosan, berikutnya sudah menunggu materi Kamp Tawanan Jika di Pelolosan hanya yang tertangkap merasakan siksaan sebagai tawanan, maka di Kamp Tawanan seluruh siswa merasakannya. Selama tiga hari tiga malam, siswa merasakan beratnya menjadi tawanan perang. Walau semua jenis siksaan fisik ini sudah ditentang lewat Konvensi Jenewa, namun siapa bisa menjamin tidak akan terjadi. Contoh paling aktual lihat saja penyiksaan tawanan Irak di Baghdad Correctional Facility yang dulunya Penjara Abu Ghraib oleh tentara Amerika Serikat tahun 2004.
Yang membangun Gan!