Theosofi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky, seorang wanita
asal Rusia berdarah Yahudi, pada 1875 di New York, Amerika Serikat, ini
memang memberikan pengaruh yang cukup besar bagi gerak nasionalisme di
negeri ini. Banyak elit-elit nasional dan founding father negeri ini
pada masa lalu yang terpengaruh dalam ajaran-ajaranTheosofi ini.
Sebagian dari mereka bahkan menjadi anggota resmi
dan memegang teguh keyakinan Theosofi. Kebanyakan dari para tokoh yang tergabung dalam Theosofi adalah mereka yang mengusung paham kebangsaan (nasionalisme), dan penganut kebatinan.Mereka umumnya tertarik dengan Theosofi karena jargon yang dikampanyekan oleh organisasi itu, diantaranya soal pluralisme, dimana semua agama pada intinya sama saja, selama menebarkan kebajikan, kasih sayang, toleransi, perdamaian, persamaan, dan sebagainya. Semua itu tercermin dalam motto organisasi ini, yaitu "There is no religion higher than truth", tak ada agama yang lebih tinggi daripada kebajikan.
dan memegang teguh keyakinan Theosofi. Kebanyakan dari para tokoh yang tergabung dalam Theosofi adalah mereka yang mengusung paham kebangsaan (nasionalisme), dan penganut kebatinan.Mereka umumnya tertarik dengan Theosofi karena jargon yang dikampanyekan oleh organisasi itu, diantaranya soal pluralisme, dimana semua agama pada intinya sama saja, selama menebarkan kebajikan, kasih sayang, toleransi, perdamaian, persamaan, dan sebagainya. Semua itu tercermin dalam motto organisasi ini, yaitu "There is no religion higher than truth", tak ada agama yang lebih tinggi daripada kebajikan.
Helena Petrovna Blavatsky |
Jargon-jargon tersebut pada masa itu disuarakan oleh para humanis
Eropa, yaitu mereka yang mengusung paham humanisme sebagai pokok
tertinggi dalam kehidupan, yang mana kebanyakan dari mereka adalah para
penganut Theosofi ataupun Freemasonry yang datang ketika Indonesia masih
bernama Hindia Timur atau sering disebut Hindia Belanda.
Tak salah jika menyebut bahwa Theosofi memberikan nuansa bagi
cikal bakal pluralisme di Indonesia. Karena, disamping para anggotanya
dari beragam etnis, bangsa, dan agama, Theosofi juga mengajarkan
kesamaan semua agama-agama (trancendent unity of religion) dan kesamaan
Tuhan (trancendent unity of God) sebagaimana tercermin dalam pemikiran
para tokohnya seperti Madame Blavatsky dan Annie Besant. Ujungnya,
mereka ingin membangun sebuah persaudaraan universal, dengan menghapus
sekat-sekat agama. Ajaran-ajaran masing-masing agama dihapus dengan
nilai-nilai universal yang berlandaskan pada paham humanisme.
Sejarawan Robert Van Niels dalam buku "Munculnya Elit Modern
Indonesia" menyatakan bahwa orang-orang Eropa yang datang ke Hindia
Timur pada masa lalu memiliki peranan penting bagi munculnya elit modern
Indonesia. Orang-orang Eropa yang datang pada masa itu, adalah para
humanis yang tak hanya bekerja sebagai pegawai kolonial, tetapi juga
membawa serta pemikiran dan kebudayaan mereka. Sejak tahun 1870, kata
Van Niels, kota-kota di Jawa tidak hanya menjadi pusat perdagangan
orang-orang Eropa, namun juga menjadi tempat bersemainya kebudayaan dan
pemikiran yang mereka bawa.
Selanjutnya pada masa 1900-an organisasi seperti Theosofi dan
Freemason makin berkembang pesat, khususnya di Tanah Jawa dengan
munculnya loge-loge tempat pertemuan mereka di berbagai daerah. Karena
itu, tak berlebihan jika Theosofi dan Freemason disebut sebagai
organisasi yang bergeliat bersama gerak laju kolonialisme di negeri ini,
yang kemudian secara tidak langsung melalui elit-elit nasional yang
direkrut menjadi anggotanya, mempengaruhi gerak laju nasionalisme negeri
ini juga.
Dalam kata pengantar buku "Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern"
Prof. David Reeve dari Universitas New South Wales Australia menyatakan,
"Dalam lingkaran orang-orang nasionalis yang sekular, begitu banyak
orang-orang yang memiliki hubungan dengan Gerakan Theosofi, "tulisnya.
Prof Reeve juga menyatakan, para aktifis Teosofi yang merupakan elit
nasional pada masa lalu adalah orang-orang yang juga banyak terlibat
dalam perumusan naskah UUD 1945, meskipun ia tak berani menyatakan bahwa
prinsip-prinsip dasar Theosofi mempengaruhi pola pikir mereka dalam
menyusun UUD tersebut.
Nama-nama seperti Mohammad Yamin, Prof. Soepono, dan Radjiman
Wediodiningrat, adalah tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang banyak menyampaikan gagasan-gagasan
soal prinsip-prinsip dasar negara ketika itu. Bahkan Radjiman, yang
merupakan tokoh penting dalam Gerakan Theosofi dan anggota resmi
kelompok Freemason, adalah ketua sidang BPUPKI, sidang yang kemudian
menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan Mohammad Yamin
termasuk orang yang berkontribusi besar dalam merumuskan lambang negara
Pancasila.
Tokoh-tokoh nasional lain yang sangat dekat dengan Gerakan Theosofi
adalah Mohammad Tabrani (Tokoh kongres Pemuda Pertama pada 1926'Ketua
Pemuda Theosofi), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (Tokoh Taman Siswa), Ki
Hadjar Dewantara (Tokoh Taman Siswa), Tjipto Mangoenkoesomo (Tokoh Boedi
Oetomo), Goenawan Mangoenkoesoemo (Tokoh Boedi Oetomo), Armin Pane
(Sastrawan), Sanoesi Pane (Sastrawan), Mohammad Amir (tokoh Jong
Sumatrenan Bond), Datoek Soetan Maharadja (tokoh kaum adat Minangkabau),
Siti Soemandari (pemimpin Majalah Bangoen), dan tokoh-tokoh nasional
lainnya, terutama yang berasal dari Keraton Paku Alaman Yogyakarta,
organisasi Tri Koro Dharmo, Jong Java, Boedi Oetomo, Perhimpoenan Goeroe
Hindia Belanda (PGHB/cikal bakal PGRI), dan para alumnus Sekolah
Pendidikan Dokter Hindia (School tot Opleiding van Indische
Artsen/STOVIA) di Batavia.
Pada masa berkembangnya Gerakan Theosofi, gesekan-gesekan pemikiran
dengan tokoh-tokoh Islam yang berasal dari Sarekat Islam berlangsung
sengit. Bahkan rivalitas antara Boedi Oetomo dan Sarekat Islam,
diantaranya juga berpangkal dari pemahaman soal keyakinan dan pemahaman
Islam.
Tokoh Boedi Oetomo, seperti Goenawan Mangoenkoesomo dan Radjiman
Wediodiningrat cenderung bersikap konfrontatif terhadap aspirasi Islam.
Sehingga tak heran, jika Prof Reeve sebagai akademisi yang pernah
meneliti Gerakan Theosofi, menyatakan, "Perkumpulan Teosofi mengaku
terbuka untuk semua agama, namun tampaknya mereka menjalin sangat
sedikit persentuhan dengan Islam," jelasnya.
Bukti kedekatan Gerakan Theosofi dengan Boedi Oetomo terlihat dalam
Perayaan 10 Tahun Organisasi Boedi Oetomo pada 1918 yang berlangsung di
Loge Theosofi, di De Ruijstestraat 67 Den Haag, Belanda. Dalam perayaan
tersebut, tokoh-tokoh Boedi Oetomo dan mahasiswa Indonesia, termasuk Ki
Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesomo, menggelar perayaan dan
peluncuran buku Soembangsih:Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-20 Mei1918.
Dalam buku itu, Goenawan Mangoenkoesomo menulis, "Bagaimanapun tinggi
nilai kebudayaan Islam, ternyata tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak
penghulu boleh saja supaya kita mengucap syahadat, "Hanya ada satu
Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya", tetapi dia tidak akan bisa berbuat
apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran kita, masih tetap seperti
sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak,"
tulisnya.
Gerakan Theosofi di Indonesia meninggalkan jejak sejarah yang
panjang di negeri ini. Beberapa tokoh yang dikemudian hari menjadi elit
nasional di negeri ini, tak lepas dari persentuhannya dengan aliran
kebatinan Yahudi ini. Baik sebagai anggota resmi, ataupun sekadar
berinteraksi dengan kelompok ini. Pada masa lalu, untuk mengenang
keberadaan Gerakan Theosofi, beberapa tempat di Jawa, menggunakan
nama-nama dari tokoh Theosofi. Seperti Blavatsky Park di Batavia, Olcott
Park di Bandung, dan Besant Square di Semarang. Nama-nama itu merujuk
pada tokoh-tokoh Theosofi: Madame H.P Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan
Annie Besant.
Sejawaran Universitas Indonesia, Harsja W. Bachtiar menggambarkan
tentang apa dan siapa Gerakan Theosofi itu. Dalam sebuah tulisan
mengenai Moh. Amir, tokoh Jong Sumatrenan Bond (JSB) yang juga anggota
Theosofi, Harsja menulis, "Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi),
yang dicipta oleh Madame H.P. Blavatsky, seorang bangsawan Rusia, dan
Henry Steel Olcott, seorang penganut kebatinan, di New York tahun 1875,
dan yang kemudian dipimpin oleh Annie Besant, berusaha mencari kearifan
Tuhan, ajaran-ajaran kebatinan seperti Karma dan Reinkarnasi, menyatukan
sekalian agama, dan menyatukan agama dan ilmu pengetahuan,"tulisnya.
Harsja W. Bachtiar kemudian menuliskan bahwa beberapa orang yang
dikemudian hari menjadi elit nasional masuk menjadi anggota perkumpulan
Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh
Gerakan Theosofi. Mereka adalah Mohammad Hatta, Djamaluddin Adinegoro
(tokoh pers Indonesia), Mohammad Jamin (tokoh Jong Sumatrenan Bond), dan
Bahder Djohan (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada kabinet
Natsir dan Wilopo). Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota Dienaren van
Indie selain yang disebutkan oleh sejarawan Harsja W. Bachtiar tersebut
adalah, Siti Soemandari (tokoh perempuan Indonesia), Ki Sarmidi
Mangoensarkoro (tokoh pendidikan Indonesia), Prof. Soepomo (salah
seorang perumus UUD 45), dan Prof. Soekanto (tokoh kepolisian
Indonesia).
Perkumpulan Dienaren van Indie yang dipimpin oleh tokoh Theosofi
Ir. A.J.H van Leeuwen memberikan beasiswa pendidikan (studie fond)
kepada tokoh-tokoh tersebut. Untuk menyatakan keanggotaan mereka, pada
nama belakang mereka harus dicantumkan huruf "DI" sebagai tanda dari
perkumpulan ini. Anggota Dienaren van Indie yang paling mencolok
kiprahnya diantaranya adalah Mohammad Tabrani, tokoh Jong Theosofen
(Pemuda Theosofi) yang menjadi penggagas Kongres Pemuda Indonesia
pertama pada 1926. Kongres ini diselenggarakan atas biaya kelompok
Freemason dan diadakan di loji milik Freemason di Batavia. Loji ini juga
sering dijadikan tempat berkumpul para anggota Theosofi, mengingat dua
organisasi ini memiliki kesamaan tujuan, yaitu menjadikan paham
humanisme sebagai doktrin tertinggi dalam kehidupan. Pada masa lalu,
kebanyakan mereka yang menjadi anggota Theosofi, juga menjadi anggota
Freemason.
Sosok yang paling menarik perhatian dari anggota perkumpulan
Dienaren van Indie adalah Mohammad Hatta. Dalam buku "Gerakan Theosofi
di Indonesia" penulis menyatakan, Hatta setidaknya pernah bersentuhan
dengan organisasi ini atau setidaknya berusaha dijerat untuk masuk
sebagai anggota Theosofi.
Hatta bersentuhan dengan Theosofi dalam arti beliau pernah menjadi
anggota Dienaren van Indie dan mendapat beasiswa dari perkumpulan ini.
Persentuhan Hatta dengan Theosofi melalui tokoh bernama Ir. P Forunier
dan Ir. A.J.H van Leeuwen. Sedangkan mengenai usaha menjerat Hatta masuk
sebagai anggota Theosofi bisa dilihat dari buku otobiografinya. Dalam
buku berjudul, "Mohammad Hatta untuk Negeri" ia menuliskan pengalamanya
yang berusaha dibujuk masuk untuk menjadi anggota Theosofi.
Dalam buku biografinya, Mohammad Hatta menulis sub bab tersendiri,
berjudul "Bujukan Theosofi". Hatta menulis, "Hubunganku dengan Ir.
Fournier dan Ir. Van Leeuwen ada pula sejarahnya. Selama aku belajar
pada PHS (Prins Hendrick School) di Batavia dan menjadi anggota pengurus
JSB (Jong Sumatrenan Bond), mereka berdua itu selalu mendekat
pemuda-pemuda yang menjadi pengurus Jong Java dan Jong Sumatranen Bond.
Mereka yang berdua itu banyak sekali menganjurkan supaya pergerakan
pemuda yang bersifat kedaerahan perlu bersatu menjadi Jong Indie.
Sebagai contoh dikemukakannya gerakan pemuda di India yang bernama Young
India. Sekaligus mereka juga mengajak aku untuk menjadi anggota
Theosofi. Sepanjang pengetahuanku, yang kena jerat mereka ialah Basuki
dari Jong Java dan Amir dari Jong Sumatranen Bond. Mungkin juga Muhammad
Yamin terkena. Aku menolak terus terang, dengan alasan aku taat kepada
Islam."demikian tulis Hatta dalam memoarnya.
Meski Hatta sudah menolak ajakan masuk sebagai anggota Theosofi, ia
terus dibujuk dan diyakinkan agar bisa bergabung dalam organisasi ini.
Ia menulis, "Ir. Fournier mengatakan, agama Islam tidak menjadi halangan
untuk menjadi orang Theosofi. Theosofi bukan agama katanya, melainkan
ajaran dan Theosofi memperkuat pendirian Islam untuk mencapai
persaudaraan bangsa-bangsa di dunia ini. Tetapi aku terus menolak.
Rupanya telah mendapat persetujuan, antara Ir. Fournier, Ir. Van
Leeuwen, Amir dan Basuki untuk mengadakan suatu organisasi pemuda baru
dengan nama Dienaren van Indie, disingkatkan dengan "DI"", tulisnya
lagi.
Demikianlah, Gerakan Theosofi mempunyai beragam cara untuk bisa
merekrut orang-orang pribumi. Mereka membentuk kelompok-kelompok
diskusi, organisasi-organisasi kepemudaan, lembaga riset ilmu
pengetahuan dan seni budaya, serta memberikan beasiswa. Tokoh-tokoh yang
disebutkan di atas, pada perjalanan selanjutnya menjadi elit-elit
nasional, yang merumuskan, membangun, dan menentukan arah perjalanan
bangsa ini pada waktu itu. Ironisnya, elit-elit modern Indonesia pada
masa lalu itu adalah mereka yang pernah bersentuhan bahkan bergabung
menjadi anggota Gerakan Theosofi. Rekam jejak mereka yang memarginalkan
kepentingan umat Islam pun sangat kentara. Tak heran, jika sampai saat
ini, negeri ini masih berada dalam sistem pemerintahan sekular, karena
sejak ratusan tahun lalu, doktrin-doktrin yang menihilkan peran agama
dalam sistem pemerintahan sudah dijalankan melalui organisasi-organisasi
pengusung humanisme sekular, diantaranya Theosofi.
Meski lepas dari bujukan untuk masuk sebagai anggota Theosofi,
namun Mohammad Hatta terus didekati oleh tokoh-tokoh Theosofi. Bahkan,
atas jasa tokoh Theosofi ia mendapat beasiswa di negeri Belanda. Lalu,
mengapa Hatta masuk dalam perkumpulan Dienaren van Indie yang dibentuk
oleh Theosofi?
Seperti diceritakan dalam tulisan sebelumnya, Mohammad Hatta
menolak bujukan Theosofi agar ia mau bergabung sebagai anggotanya.
Dengan dalih bahwa Theosofi bukanlah agama, melainkan sebuah perkumpulan
persaudaraan, tokoh Theosofi kala itu yang bernama Ir. Fournier terus
meyakinkan Hatta agar masuk dalam perkumpulan yang didirikan oleh Madame
Blavatsky ini. Untung saja Mohammad Hatta tak mau bergabung, dengan
alasan ia taat kepada Islam. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya
kemudian, ketaatan Hatta terhadap Islam dipertanyakan, karena memberi
andil bagi terhapusnya Piagam Jakarta, yang merupakan tonggak awal
penegakkan syariat Islam di Indonesia.
Propaganda bahwa Theosofi bukanlah sebuah agama hanyalah kedok
belaka dari upaya merusak keyakinan agama-agama yang ada. Perhatikanlah
apa yang dinyatakan oleh salah seorang tokoh Theosofi, Annie Besant,
sebagaimana dikutip dalam Majalah Pewarta Theosofi Boewat Indonesia
tahun 1930. Ia menyatakan, "Kami berseru kepada kalian semua, marilah
kita bekerjasama untuk agama ketentraman, agama kenyataan, agama
kemerdekaan, di dunia kerajaan dari surga yang sejati, inilah kita punya
haluan..."
Pernyataan Annie Besant seolah bagus, bahwa Theosofi adalah
perkumpulan yang terdiri dari beragam agama yang bertujuan menyebarkan
ketentraman dan kemerdekaan. Namun, ujung dari semua itu adalah
menihilkan klaim keyakinan mutlak terhadap masing-masing agama. Selama
tiap agama mengabdi kepada ketentraman, persaudaraan, dan perdamaian,
maka pada hakikatnya semua agama sama. Inilah maksud dari propaganda
Theosofi itu. Kita digiring pada pemahaman bahwa semua agama sama benar,
dan tidak boleh ada yang merasa paling benar.
Senada dengan Besant, Madame Blavatsky yang mendapat julukan Sang
Guru dari para anggota Theosofi mengatakan bahwa Theosofi adalah The
Wisdom Religion (Agama Kearifan) yang berusaha menyatukan semua
agama-agama yang ada dalam sebuah "kesatuan hidup" yang selaras dengan
nilai-nilai kemanusian. Jadi, ukurannya adalah nilai-nilai kemanusiaan,
yang menjadi doktrin tertinggi dalam pengabdian hidup Theosofi. Karena
itu, pada akhirnya, semua ajaran agama yang tidak selaras dengan
nilai-nilai kemanusian, tidak sesuai dengan konvensi internasional,
mengancam persaudaraan antar bangsa dan lain-lain, harus dihapuskan.
Inilah tujuan sesungguhnya di balik pemahaman Theosofi itu. Karenanya,
apa yang dikatakan oleh Ir. Fournier kepada Mohammad Hatta bahwa
Theosofi justru akan menguatkan pandangan keislaman, itu hanya tipuan
belaka. Tepat sekali jika Hatta menulis sub bab dalam biografinya dengan
judul "Bujukan Theosofi", karena yang namanya bujukan terkadang
mengajak pada sesuatu yang di luar kenyataan.
Meski gagal membujuk Hatta masuk dalam perkumpulan Theosofi, namun
para propagandis Theosofi tak patah arang untuk mendekati Hatta.
Diantaranya dengan mengajaknya masuk dalam perkumpulan Dienaren van
Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh para aktifis
Theosofi di Hindia Belanda kala itu. Beberapa peneliti tentang Gerakan
Theosofi dan Freemason, seperti Sejarawan Ridwan Saidi dan A.D
El-Marzededeq, menyebut Dienaren van Indie tak lebih dari kepanjangan
tangan organisasi Vrijmetselarij (Freemason) dan Theosofi.
Dalam Memoir Mohammad Hatta diceritakan, "Aku diundang menghadiri
suatu pertemuan, yang diadakan semalam sebelum aku berangkat ke Sumatera
Barat dan seterusnya ke negeri Belanda. Dari Jong Sumatrenan Bond,
selain Amir (Mohammad Amir, red) dan aku, diundang juga Bahder Djohan
dan Nazif. Beberapa orang dari Jong Java, selain dari Basuki, aku lupa
namanya. Malam itu juga, berdasarkan cita-cita persatuan, tolong
menolong dan persaudaraan, didesakkan berdirinya "Orde Dienaren van
Indie". Pada berdirinya Orde Dinaren van Indie itu diajarkan dan
dilaksanakan sekaligus ritual-ritual yang dilakukan pada pembukaan dan
penutupan rapat atau pertemuan. Pertemuan itu berlangsung sampai pukul
11 malam..." demikian cerita Hatta.
Dalam catatan otobiografinya di atas, Hatta menyebutkan bahwa pada
berdirinya perkumpulan Dienaren van Indie, diajarkan dan dilaksanakan
ritual-ritual. Apa ritual-ritual yang dimaksud? Mengingat Theosofi juga
mengajarkan okultisme (ilmu gaib), maka bisa jadi yang dimaksud
ritual-ritual itu adalah ritual khas Theosofi yang sangat klenik dan
berbau mistis. Karena Theosofi sangat kental dengan pengaruh ajaran
esoteris khas Yahudi, seperti Kabbalah. Ritual Theosofi dan Freemason
yang sangat mistis inilah yang kemudian pada masa lalu orang-orang
pribumi menyebut gedung tempat berkumpulnya dua organisasi ini sebagai
"Gedong Setan".
Mohammad Hatta, yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden Republik
Indonesia pertama, memang lepas dari bujukan Theosofi. Ia kemudian
berangkat ke negeri Belanda untuk memperoleh beasiswa dari Van Daventer
Stichting (Yayasan Van Daventer), sebuah yayasan yang mengambil nama
seorang tokoh Politik Etis. Namun beasiswa itu gagal diperolehnya.
Sementara itu, Hatta menceritakan, "Aku juga menerima sepucuk surat dari
Ir. Fournier, kepala gerakan Theosofi di Indonesia. Ia akan datang pada
bulan Juli 1923 di Nederland dan ingin bertemu dengan aku. Bersama dia
akan datang juga Ir. Van Leeuwen. Itulah surat pertama yang ku terima
dari Ir. Fournier selama dua tahun aku berada di Eropa.."
Setelah kedua tokoh Theosofi yang dikenalnya sejak di Indonesia
tiba di negeri Belanda, Hatta kemudian menemuinya. Ia bertemu dengan Ir.
Fournier dan Van Leeuwen di Den Haag. Entah ada maksud tertentu atau
tidak, kedua tokoh Theosofi ini tak lelak mendekat Hatta. Setelah Hatta
menceritakan kegagalannya mendapat beasiswa dari Van Daventer Stichting,
Ir. Van Leeuwen kemudian mengusahakan beasiswa bagi Hatta sampai
benar-benar ia memperolehnya. Alhasil, atas usaha Van Leeuwen, Hatta
mendapat beasiswa selama tiga tahun.
Mohammad Hatta memang lepas dari bujukan Theosofi, namun ia tidak
bisa luput dari perhimpunan Dienren van Indie yang didirikan oleh para
aktifis Theosofi. Catatan Hatta berikut ini akan memberikan gambaran
kepada pembaca sekalian, bahwa Hatta adalah anggota Dienaren van Indie.
Hatta menceritakan perpisahannya dengan dua tokoh Theosofi, Ir. Fournier
dan Ir. Van Leeuwen, di negeri Belanda, dengan menulis, "Rupanya kami
tidak bertemu lagi sebelum mereka berangkat ke Indonesia. Lalu kami
bersalam-salaman secara persaudaraan, menurut dasar D.I (Dienaren van
Indie) dengan mengulurkan kedua belah tangan..." tulis Hatta.
Apa yang dimaksud oleh Hatta dengan bersalam-salaman secara
persaudaraan menurut dasar Dienaren van Indie? Apakah sama dengan jabat
tangan ala Freemason, mengingat Dienaren van Indie juga dibentuk oleh
aktifis organisasi ini? Perkara sepele ini menjadi pertanyaan besar,
mengingat Hatta adalah tokoh besar bangsa ini. Dan sejarah adalah
rangkaian peristiwa yang saling mengait, kemudian terhimpun menjadi
sebuah fakta sejarah.