Ketika semua mata tertuju kepada
peristiwa kapal Titanic yang tanggal 15 April mendatang merupakan 100
tahun tenggelamnya kapal pesiar tersebut, ada baiknya sebagai warga
bangsa Indonesia tidak melupakan kejadian yang lebih banyak memakan
korban dan menimbulkan fenomena alam yang menyebar ke benua Eropa.
Kejadian tersebut adalah letusan dahsyat gunung Tambora. Akibat letusan
ini pun merambat sampai ke Benua Eropa. Inilah penyebabnya, tinggi asap
letusan mencapai stratosfer,
dengan ketinggian lebih dari 43 km.
Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat
partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan
sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km. Angin bujur menyebarkan
partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena.
Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris
antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober
1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di
dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Berikut kisah Napoleon Bonaparte dan Gunung Tambora
kabaranya Napoleon Bonaparte pun
sampai harus bertekuk lutut di tangan Inggris dan Prussia. Setelah tiga
hari Tambora meletus, tepatnya pada 18 Juni 1815, Napoleon terjebak
musuh dikarenakan sepanjang hari cuaca memburuk. Hujan terus mengguyur
kawasan tersebut. Padahal tentara Prancis saat itu sedang menuju laga
pertempuran.
Akibat cuaca buruk, roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Semua kendaraan tak bisa melaju dengan mulus. Tanahnya licin, berselimutkan salju. Maklum, abu tebal dari letusan Gunung Tambora masih bertebaran di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari yang jatuh ke bumi.
Perang Waterloo itu menjadi kisah tragis bagi Napoleon. Kehebatan Napoleon dalam menundukkan musuh-musuhnya berakhir sudah. Ia pun menyerah kalah. Jenderal itu lalu dibuang ke Pulau Saint Helena, sebuah pulau kecil di selatan Samudra Atlantik. Di pulau terpencil itulah ia menghabiskan waktunya hingga meninggal dunia pada 1821 akibat serangan kanker.
Kenneth Spink, seorang pakar geologi berteori, bahwa cuaca buruk akibat letusan Gunung Tambora menjadi salah satu pemicu kekalahan Napoleon. Pada pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris (1996), Spink mengatakan bahwa letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk cuaca buruk di Waterloo pada Juni 1815.
Akibat cuaca buruk, roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Semua kendaraan tak bisa melaju dengan mulus. Tanahnya licin, berselimutkan salju. Maklum, abu tebal dari letusan Gunung Tambora masih bertebaran di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari yang jatuh ke bumi.
Perang Waterloo itu menjadi kisah tragis bagi Napoleon. Kehebatan Napoleon dalam menundukkan musuh-musuhnya berakhir sudah. Ia pun menyerah kalah. Jenderal itu lalu dibuang ke Pulau Saint Helena, sebuah pulau kecil di selatan Samudra Atlantik. Di pulau terpencil itulah ia menghabiskan waktunya hingga meninggal dunia pada 1821 akibat serangan kanker.
Kenneth Spink, seorang pakar geologi berteori, bahwa cuaca buruk akibat letusan Gunung Tambora menjadi salah satu pemicu kekalahan Napoleon. Pada pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris (1996), Spink mengatakan bahwa letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk cuaca buruk di Waterloo pada Juni 1815.